Sunday, 3 June 2007

APA SALAH MEREKA ?

Pagi tadi, seperti pagi – pagi sebelumnya, keponakanku yang berusia satu tahun sabu bulan jalan – jalan dengan mbak yang momong. Seperti pagi – pagi kemarin kostumnya pun juga sama (pastinya ganti warna, bro), jilbab putih, celana panjang, dan jacket bertudung, membuat dia tampak lebih cantik karena kulitnya yang putih.


Baru beberapa langkah keluar pagar seorang yang lewat berkomentar, ” lho, Cina kok pake jilbab?”. Keponakan saya memang agak sipit dibanding kakak lakinya yang bermata lebih sipit, berkulit putih lebih tinggi dari anak –anak seumurnya. Maklum, bapak ibunya juga begitu, mata sipit mungkin di dapat dari garis keturunan sang bapak yang masih keturunan campuran Tiong Hoa – Jawa – Kalimantan. Yang jadi pikiran saya, apakah dilarang seorang Cina pakai jilbab? Ngga ada Perdanya, kan.

Olok-olok atau sekedar komentar berbau rasis seringkali saya dengar sejak saya kecil. Yang pertama adalah kakak saya yang sedang bersepeda diejek anak-anak yang berpapasan dengannya, hanya satu kata tapi diucapkan dengan intonasi tajam dibumbui dengan kecemburuan sosial pada warga keturunan. Mereka hanya bilang: Singkek, satu kata yang berarti Cina – karena kecemburuan sosial pada waktu itu (80-90an), pribumi sering menganggap sebagai kata yang berarti negatif - ke arah kakak saya yang memang putih dan berkaca mata sejak SD. Tapi syukurlah, kakak saya malahan bangga dengan itu, ”orang Cina kan kaya-kaya.” demikian dia memberi alasan. Demikian pula ibu saya yang dikira warga keturunan sehingga ”diperlakukan” agak berbeda hanya karena
berbeda warna kulit saja.

Tidak terasa sembilan tahun sudah era reformasi berjalan, semua peraturan yang berhubungan dengan warga keturunan diperbaiki, ataupun dihilangkan, contohnya warga keturunan sudah bisa lagi ke klenteng dengan tenang, kita bisa melihat naga-naga besar setiap tahun baru Cina, kue bulan juga bertebaran. Tapi ternyata reformasi hanya berjalan pincang. Warga keturunan masih saja merasa dipersulit. Ambil contoh : pembuatan KTP yang harus disertai dokumen macam-macam, pembuatan paspor yang harus dilampiri SKBRI maupun surat ganti nama. Walah! Repot sekali. Konon kabarnya SKBRI sudah tidak dipakai lagi tapi dalam pelaksanaannya petugas imigrasi masih menanyakannya sebagai cek dan recek.
Wah, kalu begini sebenarnya sudahkah kita berBhineka Tunggal Ika, ketika warga masih bernomor satu dan dua?
Hayo, siapa yang bisa jawab?

1 comment:

Anonymous said...

brarti km jg keturunan tionghoa to tp keturunan yg ke sekian x ya.
lucu ya ponakanmu putih.sayang ada org berkata kaya gt, doakan sj yg berkt biar dia insaf ga ngatain org sak penakke dewe.salam tuk ponakanmu yg putih mungil itu ben anakku sok ketularan putihe n pintere..
ne ponakanku yg umur 2 th jg putih.pdhl bpke htm ne ibunya ya agak kuning. orang2 skitarku blg ne ponakanku ki koyo glendeh.tau glendeh ga?