Saturday 27 October 2007

o ina ni keke



Jawa Timur didaulat sebagai e-province pertama di Indonesia.Untuk saat ini masyarakat Jawa Timur bisa berinternetan gratis dengan access speedy. hanya saja saat ini belum semua kabupaten di Jawa timur bisa terkonek dengan fasilitas ini lantaran adanya hal-hal yang tidak mendukung seperti keadaan alam daerah yang berbukit ataupun kendala teknis dari Telkom sediri. Sayangnya lagi, gratisan ini belum bisa dinikmati karena laptop/notebook masihlah barang mewah di daerah ( kecuali Surabaya ). Wah, jadi sia-sia ga, ya? Titk hotspot berada di semua alun-alun setiap kabupaten, kecuali Surabaya, Sidoarjo yang memiliki titik hotspot terbanyak. Aku pernah nyoba pake PPC tapi malah di bales :ga ada dial number 080989999 atau jangan-jangan pake yang lain? Help dong.

Monday 22 October 2007

KUTUNGGU KAU DI SANA

Mungkin aku adalah salah seorang yang tidak berperasaan di muka bumi ini. Bagiku semua adalah biasa, tidak ada yang lebih dibanding yang lain, tidak ada sesuatu yang harus lebih dipikirkan dibanding yang lain. Semuanya biasa-biasa saja.

Ketika ayah meninggal, perasaanku biasa saja. Tiada sedih, duka,tiada. Biasa saja. Bahkan aku hanya berkata kepada mami, “tabah ya, Mi,” dengan suara yang datar tanpa intonasi yang menyiratkan kesedihan secuilpun.
Pun, ketika mami meminta persetujuanku untuk menikah lagi setelah sepuluh hari selamatan keempat puluh hari meninggalnya papi, aku hanya menjawab, “terserah mami, kalo mami pikir itu bagus buat mami, kenapa enggak, toh mami sendiri yang ngrasain.” Cuek, acuh saja tanpa tekanan di kata-katanya.

Pernikahan Mami dengan Om Ikhwan hanya bertahan enam bulan saja Mami sudah menggugat cerai suami keduanya. Alasannya kekerasan dalam rumah tangga.

Bunyi telephone membuyarkan mimpiku. Suara wanita yang telah terekam di syaraf otakku terdengar dari ujung telephone. Suara mami.
“Ada apa, Mi?” tanyaku langsung.
“Begini, Rom…kamu kenal Om Satrio kan, e…semalam dia nglamar Mami, bagaimana menurutmu?” jelas mami terdengar agak ragu.
“Terserah Mami aja, deh. Romi nurut.” Jawabku asal.
Bunyi telephone ditutup. Aku beranjak menuju sofa lalu kurebahkan tubuhku, kupejamkan mataku kemudian mimpi yang terputus itupun berlanjut. Tidur.

Suasana hari Jumat di kantor lengang seperti Jumat-jumat yang lalu. Ada yang agak sibuk dengan komputernya karena terkejar deadline, ada juga yang cengengesan di depan komputer, chatting.
“Romi, tolong ke ruangan saya.” Pinta Pak Herman, Manajer Marketing tempatku bekerja.
“Coba kamu baca lagi laporanmu ini, nggak seperti biasanya amburadul seperti ini. Sepertinya laporan kamu ini hanya bentuk copy paste dari laporan rekan-rekanmu dan laporanmu terdahulu.” Jelas Pak Herman sesaat aku mendudukkan pantatku di kursi berwarna merah tanpa lengan itu.
Kuambil stopmap warna hijau yang disodorkan Pak Herman. Kubaca sesaat.
“Baik Pak, akan saya perbaiki saat ini juga.”
Dengan biasa kututup pintu ruangan Pak Herman. Aku menuju ke meja kerjaku di pojok ruangan. Kubuka program Microsoft office lalu aku mulai tenggelam dalam laporan-laporan keuangan.

“Kayaknya kita harus instropeksi dulu deh,Rom.” Bisik Fitri di kantin. Suaranya hampir tidak terdengar kalah dengan bisingnya karyawan kantor yang sepertinya tumplek di kantin sempit ini.
“Nggak perlu, Fit, mending langsung putus aja, toh katamu kita udah nggak ada kecocokan lagi.” Jawabku innocent.
Di balkon apartemen. Kupandang senja berwarna oranye tertutup mega kelabu. Terasa sedih. Aku ingat, nenek selalu melarangku keluar rumah bila senja tiba, katanya ada raksasa yang suka menculik anak-anak. Aku tersenyum. Kutarik napas dalam-dalam dan kulepaskan perlahan. Agak longgar terasa dada ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada keributan yang terjadi di kolam renang di bawah apartemen. Seorang wanita berteriak-teriak minta tolong, sesosok tubuk tergeletak dengan kepala remuk, darah membanjiri tubuhnya yang pasti telah ditinggalkan rohnya. Jasad pria itu masih memakai pakaian kerjanya. Celana gelap dengan kemeja putih bergaris yang lengannya ditekuk sepanjang siku. Mirip yang sering kukenakan. Semakin banyak orang yang merubung bangkai itu. Wanita yang berteriak-teriak itu menunjuk ke arahku ke balkon apaertemen tempatku berdiri. Kenapa? Kutengok kanan kiriku, tiada yang aneh. Wanita itu masih menunjuk tempatku berada dan semakin banyak orang yang yang melihat kearahku. Kubungkukkan badanku agak lebih rendah. Hei, mengapa orang itu mirip aku? Tidak, bukan mirip lagi. Itu adalah aku. Tapi kenapa aku bisa di sana? Aku ada di balkon sedang memandang kerumunan itu. Aneh!

Langit semakin gelap, warna oranye semakin tipis hilang dari cakrawala. Angin berhembus perlahan. Dan aku masih disana, di balkon itu. Berdiri dengan tenang, dingin, beku, dan bisu.

AKANKAH ANGGREK ITU MEKAR LAGI?

Kematian ayah menyadarkanku akan begitu pentingnya anak, tentunya anak yang berbakti, anak yang mendoakan kedua orang tuanya.
Para pelayat beranjak meninggalkan pemakaman ayah disusul ibu dibelakang mereka dipapah Aini -kakakku- dan mbok Marni, ibu sangat terpukul dengan kematian ayah yang mendadak.
Aku melirik saudara-saudaraku, belum ada yang beranjak dari tempat mereka duduk. Aku mencoba berkonsentrasi memanjatkan doa, ketika terdengar suara Ali, adik bungsuku, memecah kesenyapan.
“Pulang, yuk.” Ajaknya,”panas, nih.”
“Silahkan pulang duluan, aku tinggal di sini sebentar.” Jawab Aishah, kakaku yang nomor dua
“Ngapain di sini?” tanya Ikhsan, saudara kembarku.
“Nunggu malaikat datang.” Balas Aishah sembari menutup buku Yassin tipis yang sedari tadi dibacanya.
“Kapan malaikat itu datang?” Ali bertanya.
Hening. Aku menatap Aishah yang hanya berkomat kamit membaca sesuatu.
“Seingatku lima belas langkah setelah pelayat meninggalkan makam.” Jawab Aishah akhirnya. Mulutnya masih komat kamit sementara jari-jarinya bergerak perlahan seakan sedang menghitung sesuatu.
“Apa kita bukan pelayat? Trus, ‘gimana kita tau Malaikat turun?” cecar Ali.
“Kita keluarga beliau, kurasa itu berbeda dengan istilah pelayat.” Lanjut Aishah, “Ya...sayang kita tidak membawa ayam, kita bisa tau kalau Malaikat datang dari gelisah si ayam.” Sesal Aishah. Kembali dibukanya halaman pertama surat Yassin. “Kalau kalian belum pengen pulang, ayo berdoa semoga ayah bisa menjawab dengan baik dan lancar semua pertanyaan Malaikat di alam sana.”

Cuaca mendung, pesawat yang membawaku ke Jakarta terbang bergoyang membuatku sedikit resah. Tapi pikiranku masih ke pemakaman ayah, ajakan Aishah untuk mendoakan ayah masih terngiang di kepalaku. Itulah pentingnya anak, anak sholeh yang mendoakan orang tuanya adalah warisan yang tak terhingga. Pesawat masih agak terasa oleng di atas ketinggian tiga ribu kaki. Pikiranku melayang jauh, jauh menembus awan.

Sudah menginjak tahun ke sepuluh perkawinanku dengan Fitri kami lalui dengan bahagia meskipun Tuhan tidak mempercayakan kami untuk mengasuh anak. Kanker kandungan yang menyerang Fitri ketika kuliah mengharuskan dia kehilanganm rahimnya. Sebenarnya ibu melarang pernikahan kami. Tapi rasa cintaku kepada Fitri mengalahkan semuanya.
“Bener mas Insan nggak akan kecewa nantinya?” Tanya Fitri sebulan sebelum aku melamarnya.
“Fit, aku sudah mantap. Buat apa mundur lagi? Jawabku dengan pertanyaan.
“Aku tidak bisa memberimu keturunan,mas.” Jelasnya.
“Kita bisa mungut anak. Kalau perlu kita bikin panti asuhan saja biar ‘anak’ kita banyak. Ujarku sambil tersenyum menenangkannya.
Fitri hanya termangu.
“Aku juga tidak ingin kau madu. Sampai mati aku tidak mengizinkanmu kawin lagi,” balas Fitri sambil menatapku. “Fikirlah lagi,mas, aku minta. Aku ingin semuanya berjalan baik kelak.”

Ibu sedang mengambilkan nasi untuk ayah ketika memulai pembicaraan itu.
“Kamu sudahyakin dengan keputusanmu itu, San?”
“Sudah, Bu. Saya sudah memikirkan semuanya.” Balasku. Kujejalkan nasi sesendok kedalam mulutku.
Ibu kembali berkata,“Semua memang ada ditanganmu. Tapi cobalah mikir masak-masak dulu. Fitri tidak bisa memberimu anak. Siapa kelak yang merawatmu bila kalian sudah tua. Siapa yang menemani kalian ketika sakit. Siapa yang ngurus pemakaman kalian kelak. Atau setidaknya mencabut rumput yang tumbuh di makam kalian?”
“Sudahlah, bu. Insan sudah dewasa, dia tau yang terbaik untuknya.” Ayah memecah kebisuannya. “San, coba kamu sholat Istiqoroh, biar hatimu makin mantap, semakin bulat memilih keputusan, Insya Allah yang Maha Mengetahui memberimu petunjuk yang terbaik tidak hanya untukmu tapi juga untuk Fitri dan untuk keluarga kita. Sebelum semuanya terlambat dan kau akan menyesal kelak.”

Suara pramugari yang meminta penumpang untuk memasang seat belt membuyarkan lamunanku. Tak terasa beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di bumi Jakarta. Silau matahari mencoba masuk, menerobos kaca tebal jendela pesawat. Kutarik nafas panjang, kuendapkan di dalam paru-paruku. Lalu, kukeluarkan dengan perlahan. Dengan perlahan. Selamat datang kembali di Jakarta, San. Kataku dalam hati. Kota yang kan membuatmu lupakan masalahmu. Kota yang kan memberimu masalah baru. Hari esok masih panjang, jadi hadapilah.