Monday, 22 October 2007

KUTUNGGU KAU DI SANA

Mungkin aku adalah salah seorang yang tidak berperasaan di muka bumi ini. Bagiku semua adalah biasa, tidak ada yang lebih dibanding yang lain, tidak ada sesuatu yang harus lebih dipikirkan dibanding yang lain. Semuanya biasa-biasa saja.

Ketika ayah meninggal, perasaanku biasa saja. Tiada sedih, duka,tiada. Biasa saja. Bahkan aku hanya berkata kepada mami, “tabah ya, Mi,” dengan suara yang datar tanpa intonasi yang menyiratkan kesedihan secuilpun.
Pun, ketika mami meminta persetujuanku untuk menikah lagi setelah sepuluh hari selamatan keempat puluh hari meninggalnya papi, aku hanya menjawab, “terserah mami, kalo mami pikir itu bagus buat mami, kenapa enggak, toh mami sendiri yang ngrasain.” Cuek, acuh saja tanpa tekanan di kata-katanya.

Pernikahan Mami dengan Om Ikhwan hanya bertahan enam bulan saja Mami sudah menggugat cerai suami keduanya. Alasannya kekerasan dalam rumah tangga.

Bunyi telephone membuyarkan mimpiku. Suara wanita yang telah terekam di syaraf otakku terdengar dari ujung telephone. Suara mami.
“Ada apa, Mi?” tanyaku langsung.
“Begini, Rom…kamu kenal Om Satrio kan, e…semalam dia nglamar Mami, bagaimana menurutmu?” jelas mami terdengar agak ragu.
“Terserah Mami aja, deh. Romi nurut.” Jawabku asal.
Bunyi telephone ditutup. Aku beranjak menuju sofa lalu kurebahkan tubuhku, kupejamkan mataku kemudian mimpi yang terputus itupun berlanjut. Tidur.

Suasana hari Jumat di kantor lengang seperti Jumat-jumat yang lalu. Ada yang agak sibuk dengan komputernya karena terkejar deadline, ada juga yang cengengesan di depan komputer, chatting.
“Romi, tolong ke ruangan saya.” Pinta Pak Herman, Manajer Marketing tempatku bekerja.
“Coba kamu baca lagi laporanmu ini, nggak seperti biasanya amburadul seperti ini. Sepertinya laporan kamu ini hanya bentuk copy paste dari laporan rekan-rekanmu dan laporanmu terdahulu.” Jelas Pak Herman sesaat aku mendudukkan pantatku di kursi berwarna merah tanpa lengan itu.
Kuambil stopmap warna hijau yang disodorkan Pak Herman. Kubaca sesaat.
“Baik Pak, akan saya perbaiki saat ini juga.”
Dengan biasa kututup pintu ruangan Pak Herman. Aku menuju ke meja kerjaku di pojok ruangan. Kubuka program Microsoft office lalu aku mulai tenggelam dalam laporan-laporan keuangan.

“Kayaknya kita harus instropeksi dulu deh,Rom.” Bisik Fitri di kantin. Suaranya hampir tidak terdengar kalah dengan bisingnya karyawan kantor yang sepertinya tumplek di kantin sempit ini.
“Nggak perlu, Fit, mending langsung putus aja, toh katamu kita udah nggak ada kecocokan lagi.” Jawabku innocent.
Di balkon apartemen. Kupandang senja berwarna oranye tertutup mega kelabu. Terasa sedih. Aku ingat, nenek selalu melarangku keluar rumah bila senja tiba, katanya ada raksasa yang suka menculik anak-anak. Aku tersenyum. Kutarik napas dalam-dalam dan kulepaskan perlahan. Agak longgar terasa dada ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada keributan yang terjadi di kolam renang di bawah apartemen. Seorang wanita berteriak-teriak minta tolong, sesosok tubuk tergeletak dengan kepala remuk, darah membanjiri tubuhnya yang pasti telah ditinggalkan rohnya. Jasad pria itu masih memakai pakaian kerjanya. Celana gelap dengan kemeja putih bergaris yang lengannya ditekuk sepanjang siku. Mirip yang sering kukenakan. Semakin banyak orang yang merubung bangkai itu. Wanita yang berteriak-teriak itu menunjuk ke arahku ke balkon apaertemen tempatku berdiri. Kenapa? Kutengok kanan kiriku, tiada yang aneh. Wanita itu masih menunjuk tempatku berada dan semakin banyak orang yang yang melihat kearahku. Kubungkukkan badanku agak lebih rendah. Hei, mengapa orang itu mirip aku? Tidak, bukan mirip lagi. Itu adalah aku. Tapi kenapa aku bisa di sana? Aku ada di balkon sedang memandang kerumunan itu. Aneh!

Langit semakin gelap, warna oranye semakin tipis hilang dari cakrawala. Angin berhembus perlahan. Dan aku masih disana, di balkon itu. Berdiri dengan tenang, dingin, beku, dan bisu.

1 comment:

Anonymous said...

Oi, achei seu blog pelo google está bem interessante gostei desse post. Gostaria de falar sobre o CresceNet. O CresceNet é um provedor de internet discada que remunera seus usuários pelo tempo conectado. Exatamente isso que você leu, estão pagando para você conectar. O provedor paga 20 centavos por hora de conexão discada com ligação local para mais de 2100 cidades do Brasil. O CresceNet tem um acelerador de conexão, que deixa sua conexão até 10 vezes mais rápida. Quem utiliza banda larga pode lucrar também, basta se cadastrar no CresceNet e quando for dormir conectar por discada, é possível pagar a ADSL só com o dinheiro da discada. Nos horários de minuto único o gasto com telefone é mínimo e a remuneração do CresceNet generosa. Se você quiser linkar o Cresce.Net(www.provedorcrescenet.com) no seu blog eu ficaria agradecido, até mais e sucesso. (If he will be possible add the CresceNet(www.provedorcrescenet.com) in your blogroll I thankful, bye friend).