Kematian ayah menyadarkanku akan begitu pentingnya anak, tentunya anak yang berbakti, anak yang mendoakan kedua orang tuanya.
Para pelayat beranjak meninggalkan pemakaman ayah disusul ibu dibelakang mereka dipapah Aini -kakakku- dan mbok Marni, ibu sangat terpukul dengan kematian ayah yang mendadak.
Aku melirik saudara-saudaraku, belum ada yang beranjak dari tempat mereka duduk. Aku mencoba berkonsentrasi memanjatkan doa, ketika terdengar suara Ali, adik bungsuku, memecah kesenyapan.
“Pulang, yuk.” Ajaknya,”panas, nih.”
“Silahkan pulang duluan, aku tinggal di sini sebentar.” Jawab Aishah, kakaku yang nomor dua
“Ngapain di sini?” tanya Ikhsan, saudara kembarku.
“Nunggu malaikat datang.” Balas Aishah sembari menutup buku Yassin tipis yang sedari tadi dibacanya.
“Kapan malaikat itu datang?” Ali bertanya.
Hening. Aku menatap Aishah yang hanya berkomat kamit membaca sesuatu.
“Seingatku lima belas langkah setelah pelayat meninggalkan makam.” Jawab Aishah akhirnya. Mulutnya masih komat kamit sementara jari-jarinya bergerak perlahan seakan sedang menghitung sesuatu.
“Apa kita bukan pelayat? Trus, ‘gimana kita tau Malaikat turun?” cecar Ali.
“Kita keluarga beliau, kurasa itu berbeda dengan istilah pelayat.” Lanjut Aishah, “Ya...sayang kita tidak membawa ayam, kita bisa tau kalau Malaikat datang dari gelisah si ayam.” Sesal Aishah. Kembali dibukanya halaman pertama surat Yassin. “Kalau kalian belum pengen pulang, ayo berdoa semoga ayah bisa menjawab dengan baik dan lancar semua pertanyaan Malaikat di alam sana.”
Cuaca mendung, pesawat yang membawaku ke Jakarta terbang bergoyang membuatku sedikit resah. Tapi pikiranku masih ke pemakaman ayah, ajakan Aishah untuk mendoakan ayah masih terngiang di kepalaku. Itulah pentingnya anak, anak sholeh yang mendoakan orang tuanya adalah warisan yang tak terhingga. Pesawat masih agak terasa oleng di atas ketinggian tiga ribu kaki. Pikiranku melayang jauh, jauh menembus awan.
Sudah menginjak tahun ke sepuluh perkawinanku dengan Fitri kami lalui dengan bahagia meskipun Tuhan tidak mempercayakan kami untuk mengasuh anak. Kanker kandungan yang menyerang Fitri ketika kuliah mengharuskan dia kehilanganm rahimnya. Sebenarnya ibu melarang pernikahan kami. Tapi rasa cintaku kepada Fitri mengalahkan semuanya.
“Bener mas Insan nggak akan kecewa nantinya?” Tanya Fitri sebulan sebelum aku melamarnya.
“Fit, aku sudah mantap. Buat apa mundur lagi? Jawabku dengan pertanyaan.
“Aku tidak bisa memberimu keturunan,mas.” Jelasnya.
“Kita bisa mungut anak. Kalau perlu kita bikin panti asuhan saja biar ‘anak’ kita banyak. Ujarku sambil tersenyum menenangkannya.
Fitri hanya termangu.
“Aku juga tidak ingin kau madu. Sampai mati aku tidak mengizinkanmu kawin lagi,” balas Fitri sambil menatapku. “Fikirlah lagi,mas, aku minta. Aku ingin semuanya berjalan baik kelak.”
Ibu sedang mengambilkan nasi untuk ayah ketika memulai pembicaraan itu.
“Kamu sudahyakin dengan keputusanmu itu, San?”
“Sudah, Bu. Saya sudah memikirkan semuanya.” Balasku. Kujejalkan nasi sesendok kedalam mulutku.
Ibu kembali berkata,“Semua memang ada ditanganmu. Tapi cobalah mikir masak-masak dulu. Fitri tidak bisa memberimu anak. Siapa kelak yang merawatmu bila kalian sudah tua. Siapa yang menemani kalian ketika sakit. Siapa yang ngurus pemakaman kalian kelak. Atau setidaknya mencabut rumput yang tumbuh di makam kalian?”
“Sudahlah, bu. Insan sudah dewasa, dia tau yang terbaik untuknya.” Ayah memecah kebisuannya. “San, coba kamu sholat Istiqoroh, biar hatimu makin mantap, semakin bulat memilih keputusan, Insya Allah yang Maha Mengetahui memberimu petunjuk yang terbaik tidak hanya untukmu tapi juga untuk Fitri dan untuk keluarga kita. Sebelum semuanya terlambat dan kau akan menyesal kelak.”
Suara pramugari yang meminta penumpang untuk memasang seat belt membuyarkan lamunanku. Tak terasa beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di bumi Jakarta. Silau matahari mencoba masuk, menerobos kaca tebal jendela pesawat. Kutarik nafas panjang, kuendapkan di dalam paru-paruku. Lalu, kukeluarkan dengan perlahan. Dengan perlahan. Selamat datang kembali di Jakarta, San. Kataku dalam hati. Kota yang kan membuatmu lupakan masalahmu. Kota yang kan memberimu masalah baru. Hari esok masih panjang, jadi hadapilah.
Para pelayat beranjak meninggalkan pemakaman ayah disusul ibu dibelakang mereka dipapah Aini -kakakku- dan mbok Marni, ibu sangat terpukul dengan kematian ayah yang mendadak.
Aku melirik saudara-saudaraku, belum ada yang beranjak dari tempat mereka duduk. Aku mencoba berkonsentrasi memanjatkan doa, ketika terdengar suara Ali, adik bungsuku, memecah kesenyapan.
“Pulang, yuk.” Ajaknya,”panas, nih.”
“Silahkan pulang duluan, aku tinggal di sini sebentar.” Jawab Aishah, kakaku yang nomor dua
“Ngapain di sini?” tanya Ikhsan, saudara kembarku.
“Nunggu malaikat datang.” Balas Aishah sembari menutup buku Yassin tipis yang sedari tadi dibacanya.
“Kapan malaikat itu datang?” Ali bertanya.
Hening. Aku menatap Aishah yang hanya berkomat kamit membaca sesuatu.
“Seingatku lima belas langkah setelah pelayat meninggalkan makam.” Jawab Aishah akhirnya. Mulutnya masih komat kamit sementara jari-jarinya bergerak perlahan seakan sedang menghitung sesuatu.
“Apa kita bukan pelayat? Trus, ‘gimana kita tau Malaikat turun?” cecar Ali.
“Kita keluarga beliau, kurasa itu berbeda dengan istilah pelayat.” Lanjut Aishah, “Ya...sayang kita tidak membawa ayam, kita bisa tau kalau Malaikat datang dari gelisah si ayam.” Sesal Aishah. Kembali dibukanya halaman pertama surat Yassin. “Kalau kalian belum pengen pulang, ayo berdoa semoga ayah bisa menjawab dengan baik dan lancar semua pertanyaan Malaikat di alam sana.”
Cuaca mendung, pesawat yang membawaku ke Jakarta terbang bergoyang membuatku sedikit resah. Tapi pikiranku masih ke pemakaman ayah, ajakan Aishah untuk mendoakan ayah masih terngiang di kepalaku. Itulah pentingnya anak, anak sholeh yang mendoakan orang tuanya adalah warisan yang tak terhingga. Pesawat masih agak terasa oleng di atas ketinggian tiga ribu kaki. Pikiranku melayang jauh, jauh menembus awan.
Sudah menginjak tahun ke sepuluh perkawinanku dengan Fitri kami lalui dengan bahagia meskipun Tuhan tidak mempercayakan kami untuk mengasuh anak. Kanker kandungan yang menyerang Fitri ketika kuliah mengharuskan dia kehilanganm rahimnya. Sebenarnya ibu melarang pernikahan kami. Tapi rasa cintaku kepada Fitri mengalahkan semuanya.
“Bener mas Insan nggak akan kecewa nantinya?” Tanya Fitri sebulan sebelum aku melamarnya.
“Fit, aku sudah mantap. Buat apa mundur lagi? Jawabku dengan pertanyaan.
“Aku tidak bisa memberimu keturunan,mas.” Jelasnya.
“Kita bisa mungut anak. Kalau perlu kita bikin panti asuhan saja biar ‘anak’ kita banyak. Ujarku sambil tersenyum menenangkannya.
Fitri hanya termangu.
“Aku juga tidak ingin kau madu. Sampai mati aku tidak mengizinkanmu kawin lagi,” balas Fitri sambil menatapku. “Fikirlah lagi,mas, aku minta. Aku ingin semuanya berjalan baik kelak.”
Ibu sedang mengambilkan nasi untuk ayah ketika memulai pembicaraan itu.
“Kamu sudahyakin dengan keputusanmu itu, San?”
“Sudah, Bu. Saya sudah memikirkan semuanya.” Balasku. Kujejalkan nasi sesendok kedalam mulutku.
Ibu kembali berkata,“Semua memang ada ditanganmu. Tapi cobalah mikir masak-masak dulu. Fitri tidak bisa memberimu anak. Siapa kelak yang merawatmu bila kalian sudah tua. Siapa yang menemani kalian ketika sakit. Siapa yang ngurus pemakaman kalian kelak. Atau setidaknya mencabut rumput yang tumbuh di makam kalian?”
“Sudahlah, bu. Insan sudah dewasa, dia tau yang terbaik untuknya.” Ayah memecah kebisuannya. “San, coba kamu sholat Istiqoroh, biar hatimu makin mantap, semakin bulat memilih keputusan, Insya Allah yang Maha Mengetahui memberimu petunjuk yang terbaik tidak hanya untukmu tapi juga untuk Fitri dan untuk keluarga kita. Sebelum semuanya terlambat dan kau akan menyesal kelak.”
Suara pramugari yang meminta penumpang untuk memasang seat belt membuyarkan lamunanku. Tak terasa beberapa menit lagi pesawat akan mendarat di bumi Jakarta. Silau matahari mencoba masuk, menerobos kaca tebal jendela pesawat. Kutarik nafas panjang, kuendapkan di dalam paru-paruku. Lalu, kukeluarkan dengan perlahan. Dengan perlahan. Selamat datang kembali di Jakarta, San. Kataku dalam hati. Kota yang kan membuatmu lupakan masalahmu. Kota yang kan memberimu masalah baru. Hari esok masih panjang, jadi hadapilah.
No comments:
Post a Comment