Friday 28 September 2007

BUNGA KAMBOJA ITU JATUH DI TANAH

Selamatan empat puluh hari meninggalnya bapak sudah berlalu, kesedihan ibupun sudah berkurang sedikit demi sedikit—semoga ibu tabah menghadapinya dan akan terbiasa dengan ketidakhadiran bapak di rumah—tapi masih saja ada satu pertanyaan besar tentang benarkah aku yang telah membunuh bapak? Atau apakah itu “sekedar” suratan takdir yang harus melibatkan kehadiranku di sana? Hanya Allah Rabb Yang Maha Mengetahui yang bisa menjawabnya.
Semua itu berawal pada hari Kamis tanggal 9 September 2007 sore. Seperti biasa bapak yang sedang opname akibat infeksi ginjal mengaduh dan dan menggaruk semua anggota badannya yang bisa di raih karena gatal. Asam urat yang menderanya memperparah sakit yang dirasakannya. Kata dokter yang merawatnya gatal-gatal di seluruh badan beliau disebabkan oleh bercampurnya darah kotor dan darah bersih dalam tubuhnya yang sudah sampai otak. Tiba saatnya perawat menyuntikkan obat melalui selang infus dan dari situlah diketahui bahwa jarum infus tidak pada tempatnya, kemudian sang perawat mencoba membetulkan kembali letak jarum tersebut tetapi gagal. Beberapa saat kemudian dibantu temannya si perawat mencoba mencari pembuluh darah baru disekujur badan bapak tetapi gagal juga—pembuluh sangat tipis/susah terlihat. Kemudian pada sore hari bapak aku beri minum obat ditambah obat penenang yang yang diresepkan tadi pagi. Sepertinya obat penenang berjalan lambat karena bapak baru tertidur pada saat Isya’ pada saat perawat yang bertugas malam hari mencoba memasang infus baru. Pada saat itu bapak mengamuk berteriak-teriak, mengaduh, dan meminta si perawat untuk meng-kayu kedua tangannya saja (spaleck? Kayu yang digunakan seperti pada patah tangan, dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akibat pergerakan tangan). Bapak tetap mengaduh berteriak dan marah-marah, kedua tangannya bergerak kian kemari mencoba melepas ikatan kayu infus. Tidak ada yang bisa aku lakukan kecuali dengan nada tinggi karena jengkel yang sudah di ubun-ubun dan tidak sabar menjawab aduhan bapak dengan cara menakut-nakuti beliau,persis seperti ketika sedang menakuti anak kecil. Ibu sudah tertidur di bawah ranjang bapak, seorang kakak yang baru saja datang dari Malang membawa obat (Eprek ?) mencoba menenangkan saya. Akhirnya dengan rasa jengkel kubiarkan saja bapak mengaduh, berteriak sepanjang malam -sementara aku mencoba tidur di bawah beliau, toh malam-malam sebelumnya bapak juga seperti itu besok-besokpun pasti juga seperti itu, pikirku-hingga pada pukul lima pagi bapak suudah bisa tenang, sepertinya bapak kecapekan. Pagi, Jumat 10 Agustus pukul )7.00 seharusnya bapak sudah minum obat tetapi hingga dokter beliau datang pukul sepuluh beliau belum bangun juga. Dokter kemiudian menyuntikkan Eprex/Eprek ke dinding perut bapak yang masih tertidur, reaksi beliau hanya melenguh saja. Dan sejak itulah bapah belum babangun dari tidurnya, kami hanya mengecek dari reaksi bapak dengan mencoba menekuk atau memegang kaki bapak, bila bapak mengeluarkan suara maka agak tenanglah hati kami. DVD qiroah Alquran di kumandangkan sepanjang hari untuk memancing bapak agar terbangun dari tidurnya. Gerakan tangannya sudah berkurang drastis yang ada hanyalah desahan nafas beliau, dan yang kami lakukan hanyalah menggosok-gosok tangan kaki beliau seperti ketika baliau sedang gatal dahulu. Bapak masih tertidur ketika aku harus ke Jakarta pada Minggu 12 Agustus 2007, di kereta aku mendapat SMS bahwa bapak akan melakukan cuci darah untuk membangunkan beliau dengan cataatan dalam pengawasan super ketat dari dokter mengingat kondisi dan usia bapak yang sudah 79 tahun. Bapak tiba di Kediri menggunakan ambulans RSUD Nganjuk, dan dokter Rumah Sakit Kediripun langsung melakukan rapat tertutup setelah mengetahui kondisi bapak. Diketahui bapak koma karena strok. Strok? Selama di Nganjuk kami tidak mengetahui bahwa bapak terkena strok begitupun dengan dokter yang merawat beliau. Dari cerita kakak yang mengawal beliau sampai Kediri strok tersebut diperoleh bapak karena : mungkin karena asam urat yang membuat beliau gatal, mungkin karena emosi beliau yang meluap-luap. Cerita kakak membuat aku bersalah karena akulah yang membuat bapak emosi, akulah yang selalu memberi minum obat kepada beliau, akulah anak yang tidak berbakti yang tidak dengan sabar menjaga beliau dan akulah anak yang belum pernah membuat beliau bahagia hingga beliau tiba pada akhir hayatnya pukul 11. 20 hari Rabu, 14 Agustus 2007. Hari berganti hari, suasana tanpa bapak akhirnya kami lalui dengan sesuatu yang biasa saja. Hanya saja sekarang kami memiliki kesibukan baru yaitu mengunjungi bapak dan merawat kubur beliau pagi dan sore sambil memanjatkan doa agar diampuniNya dosa-dosa bapak selama hidup di dunia ini, dosa yang disengaja maupun dosa yang tidak disengaja, dosa yang samar maupun dosa yang nyata, dosa yang besar maupun dosa yang kecil dan agar beliau diberi kebahagiaan, kesejahteraan, dan kelapangan di sisi Allah Rabb Semesta Alam di alamNya, alam kubur.