NUTRISARI BANGET
Eri 100% tidak lagi seperti yang dulu. Tingkah lakunya, gaya bicaranya yang ceplas ceplos mengundang tawa, semuanya tetap sama seperti kali terakhir kami bertemu. Tapi perubahan mencolok nampak di beberapa bagian tubuhnya. Potongan rambutnya yang dulu agak pendek kini menjadi rambut panjang sepinggang berwarna merah maroon, model terbaru katanya sambil tertawa renyah menyertai cubitan pedas di pinggangku. Kulitnyapun jadi putih bersih, hidungnya yang agak pesek kini lebih panjang beberapa senti, sayang, naruhnya agak ketinggian jadi seperi burung Betet. Kakinya yang dulu kasar karena bulu-bulunya dikerok menjadi sepasang kaki langsing, dengan betis yang padat berisi berhiaskan sepatu berhak sepuluh senti.
“ Kenalkan, ini Bram, pacar baruku.” Kata Eri membuyarkan lamunanku.
“ E…o, ya. Rhino.” Kusebut namaku sembari menyambut uluran tangan lelaki berbadan tegap, berkulit sawo matang bersih, bertinggi sekitar 178-180-an cm itu.
Lelaki itu tersenyum dan mengangguk kecil padaku sedangkan Eri tersenyum-senyum sambil menggerakkan badannya seperti anak kecil yang ingin bermanja-manja.
” Bagaimana, No, aku sudah membayar sumpahku kan,” kata Eri sambil tersenyum.
Eri melanjutkan, ” kamu ingatkan dulu aku pernah bersumpah, sebelum aku bisa mendapatkan pria yang melebihi kamu aku tidak akan balik ke kota ini dan menemuimu.”
” So, what do you think?” tanyanya.
Kilatan petir sesaat membawaku mengenang peristiwa sepuluh tahun lalu di Pantai Parangtritis. Demi merayakan kelulusan SMA, aku dan beberapa teman termasuk Eri merayakan pesta api unggun di sana. Deburan ombak keras pantai selatan menambah romantis suasana malam itu, dengan bertemankan bintang-bintang yang berkelip di langit yang cerah tak tersaput mendung secuil kami mendendangkan lagu lama Iwan Fals diiringi petikan gitar tua milik Imron, sang ketua kelas,
”…kemesraan ini janganlah cepat berlalu, kemesraan ini ingin kupendam selalu, hatiku damai jiwaku tentram di sampingmu…..”
Waktu itu Eri bergelayut manja, tangannya melingkari tanganku, tubuhnya sengaja ditempelkan erat dengan kepala bersandar di pundakku. Aku acuh saja, toh teman-teman semuanya tahu siapa Eri, kepada semua lelaki dia berlaku yang sama apalagi lelaki itu tampan, berkulit putih (seperti penulis :P), rapi ataupun tampak macho dengan dandanan rocker, Eri tidak perduli, katanya, “asal aku merasa nyaman, cuek aja, lagi.”
Belum selesai lagu kedua dinyanyikan, Eri menarik tanganku setengah memaksa. Mau tidak mau aku ikuti tarikan Eri yang membawaku jauh pergi dari gerombolan teman-teman yang memandang kami dengan penuh tanya sambil sedikit berbisik-bisik satu dengan yang lain.
“ Apaan sih, Ri, malukan sama yang lain.” kataku.
” Sorry, No, aku hanya pengen punya waktu berduaan denganmu.” balas Eri.
” Emangnya kita apaan? Pake acara berduaan segala.” timpalku.
“ No, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu.”
” Ya udah tinggal ngomong, apa susahnya? Ga perlu narik-narik akau kan.” sungutku.
” No, sebenarnya.....” berhenti sesaat Eri menarik napas.
” Sebenarnya apaan?” tidak sabaran aku berkata.
” Tapi janji kamu tidak marah kan.” mohon Eri.
” Iya, iya, cepetan ngomong, to the point saja, ga usah basa basi. ”
” Sebenarnya, aku suka sama kamu, No.”
” Apa?!” teriakku terkaget-kaget, ” apa kamu bilang?”
” Maafin aku, No, aku nggak bisa memungkiri ini.....”
” Wait, wait..., maksudmu kamu cinta aku seperti cinta Rangga pada Cinta, gitu?” potongku tak percaya.
Eri hanya mengangguk, tidak berani dia menatapku dan kuyakin kaca-kaca bening sudah menggantung di matanya.
” Eri, Eri kamu kemasukan jin dari mana? apa kata dunia nanti? masa jeruk minum jeruk, kaya iklan aja.”
” Aku tahu, No, tapi aku ga bisa membohongi perasaanku padamu. ” Eri berkata ditengah isakan tangis dan sedotan ingusnya. So discusting!
Angin pantai bertiup agak kencang membawa butir-butir lembut pasir Pantai Parangtritis menampar wajahku yang kecut, bingung, marah, kaget dan bermacam bentuk perasaan aneh lainnya. Deburan ombak Parangtritis memecah sunyi malam meredam tangisan Eri yang berdiri kaku sesenggukan di depanku. Tiba-tiba, tetesan gerimis satu persatu menetes - padahal BMG memprakirakan cuaca cerah - membasahi bumi pijakan kami. Di tengah suasana yang tidak menentu Eri mengucapkan sumpahnya, bahwa sebelum dia bertemu dengan lelaki yang melebihi aku dalam segala-galanya dia takkan kembali ke kota ini.
Dan kini sumpah itu terpatahkan.
” Rhino, kok bengong, seeh? Jangan-jangan ente naksir akika, bok.” enteng Eri berkata.
” Bram ini seorang manajer sebuah Boutiq terkenal di Jakarta, lho, No, bulan kemarin aja baru grand launching cabang barunya di Singaparna, eh, Singapura...sampe belibet akika ngomong, habisnya ente melongo sih kaya sapi ompong, heran ya?” cerocos Eri tanpa titik koma.
Aku hanya terdiam menatapnya sambil mendengarkan promosinya tentang Bram. Eri, Eri....atau harus kusebut nama lengkapmu? Eryanto Pambudi, nama yang cukup gagah tapi sayang tidak segagah tampilan luar dalammu. Terserah kamu mau ngenalin siapa saja ke aku, atau mau ngomong apa aja ke aku itu hakmu tapi aku juga punya hak kan. Salah satunya hak untuk punya keturunan yang pastinya tak bisa kauberikan, juga hak untuk gak kena HIV/AIDS. Aku masih ingin hidup seribu tahun lagi.
Eri, selamat ya, kuacungi empat jempol milikku untukmu. Kamu berhasil memake over dirimu sampai pangling aku jadinya dan atas keberhasilanmu mendapat pacar yang baik (menurutmu), kaya dan lebih segalanya daripada aku, satu pesanku : hati-hati atuh sama PMS (penyakit menular sexual) macam raja singa, sifilis, apalagi HIV/Aids. Jangan lupa pake alat pelindung ye dan jangan ganti-ganti pasangan. Takut bok.....
“ Kenalkan, ini Bram, pacar baruku.” Kata Eri membuyarkan lamunanku.
“ E…o, ya. Rhino.” Kusebut namaku sembari menyambut uluran tangan lelaki berbadan tegap, berkulit sawo matang bersih, bertinggi sekitar 178-180-an cm itu.
Lelaki itu tersenyum dan mengangguk kecil padaku sedangkan Eri tersenyum-senyum sambil menggerakkan badannya seperti anak kecil yang ingin bermanja-manja.
” Bagaimana, No, aku sudah membayar sumpahku kan,” kata Eri sambil tersenyum.
Eri melanjutkan, ” kamu ingatkan dulu aku pernah bersumpah, sebelum aku bisa mendapatkan pria yang melebihi kamu aku tidak akan balik ke kota ini dan menemuimu.”
” So, what do you think?” tanyanya.
Kilatan petir sesaat membawaku mengenang peristiwa sepuluh tahun lalu di Pantai Parangtritis. Demi merayakan kelulusan SMA, aku dan beberapa teman termasuk Eri merayakan pesta api unggun di sana. Deburan ombak keras pantai selatan menambah romantis suasana malam itu, dengan bertemankan bintang-bintang yang berkelip di langit yang cerah tak tersaput mendung secuil kami mendendangkan lagu lama Iwan Fals diiringi petikan gitar tua milik Imron, sang ketua kelas,
”…kemesraan ini janganlah cepat berlalu, kemesraan ini ingin kupendam selalu, hatiku damai jiwaku tentram di sampingmu…..”
Waktu itu Eri bergelayut manja, tangannya melingkari tanganku, tubuhnya sengaja ditempelkan erat dengan kepala bersandar di pundakku. Aku acuh saja, toh teman-teman semuanya tahu siapa Eri, kepada semua lelaki dia berlaku yang sama apalagi lelaki itu tampan, berkulit putih (seperti penulis :P), rapi ataupun tampak macho dengan dandanan rocker, Eri tidak perduli, katanya, “asal aku merasa nyaman, cuek aja, lagi.”
Belum selesai lagu kedua dinyanyikan, Eri menarik tanganku setengah memaksa. Mau tidak mau aku ikuti tarikan Eri yang membawaku jauh pergi dari gerombolan teman-teman yang memandang kami dengan penuh tanya sambil sedikit berbisik-bisik satu dengan yang lain.
“ Apaan sih, Ri, malukan sama yang lain.” kataku.
” Sorry, No, aku hanya pengen punya waktu berduaan denganmu.” balas Eri.
” Emangnya kita apaan? Pake acara berduaan segala.” timpalku.
“ No, aku pengen ngomong sesuatu sama kamu.”
” Ya udah tinggal ngomong, apa susahnya? Ga perlu narik-narik akau kan.” sungutku.
” No, sebenarnya.....” berhenti sesaat Eri menarik napas.
” Sebenarnya apaan?” tidak sabaran aku berkata.
” Tapi janji kamu tidak marah kan.” mohon Eri.
” Iya, iya, cepetan ngomong, to the point saja, ga usah basa basi. ”
” Sebenarnya, aku suka sama kamu, No.”
” Apa?!” teriakku terkaget-kaget, ” apa kamu bilang?”
” Maafin aku, No, aku nggak bisa memungkiri ini.....”
” Wait, wait..., maksudmu kamu cinta aku seperti cinta Rangga pada Cinta, gitu?” potongku tak percaya.
Eri hanya mengangguk, tidak berani dia menatapku dan kuyakin kaca-kaca bening sudah menggantung di matanya.
” Eri, Eri kamu kemasukan jin dari mana? apa kata dunia nanti? masa jeruk minum jeruk, kaya iklan aja.”
” Aku tahu, No, tapi aku ga bisa membohongi perasaanku padamu. ” Eri berkata ditengah isakan tangis dan sedotan ingusnya. So discusting!
Angin pantai bertiup agak kencang membawa butir-butir lembut pasir Pantai Parangtritis menampar wajahku yang kecut, bingung, marah, kaget dan bermacam bentuk perasaan aneh lainnya. Deburan ombak Parangtritis memecah sunyi malam meredam tangisan Eri yang berdiri kaku sesenggukan di depanku. Tiba-tiba, tetesan gerimis satu persatu menetes - padahal BMG memprakirakan cuaca cerah - membasahi bumi pijakan kami. Di tengah suasana yang tidak menentu Eri mengucapkan sumpahnya, bahwa sebelum dia bertemu dengan lelaki yang melebihi aku dalam segala-galanya dia takkan kembali ke kota ini.
Dan kini sumpah itu terpatahkan.
” Rhino, kok bengong, seeh? Jangan-jangan ente naksir akika, bok.” enteng Eri berkata.
” Bram ini seorang manajer sebuah Boutiq terkenal di Jakarta, lho, No, bulan kemarin aja baru grand launching cabang barunya di Singaparna, eh, Singapura...sampe belibet akika ngomong, habisnya ente melongo sih kaya sapi ompong, heran ya?” cerocos Eri tanpa titik koma.
Aku hanya terdiam menatapnya sambil mendengarkan promosinya tentang Bram. Eri, Eri....atau harus kusebut nama lengkapmu? Eryanto Pambudi, nama yang cukup gagah tapi sayang tidak segagah tampilan luar dalammu. Terserah kamu mau ngenalin siapa saja ke aku, atau mau ngomong apa aja ke aku itu hakmu tapi aku juga punya hak kan. Salah satunya hak untuk punya keturunan yang pastinya tak bisa kauberikan, juga hak untuk gak kena HIV/AIDS. Aku masih ingin hidup seribu tahun lagi.
Eri, selamat ya, kuacungi empat jempol milikku untukmu. Kamu berhasil memake over dirimu sampai pangling aku jadinya dan atas keberhasilanmu mendapat pacar yang baik (menurutmu), kaya dan lebih segalanya daripada aku, satu pesanku : hati-hati atuh sama PMS (penyakit menular sexual) macam raja singa, sifilis, apalagi HIV/Aids. Jangan lupa pake alat pelindung ye dan jangan ganti-ganti pasangan. Takut bok.....
No comments:
Post a Comment